BAB I.  PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Pendidikan Humanis
  2. Sejarah Pendidikan Humanis
  3. Pendidikan Indonesia Setelah Merdeka
  4. Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan (Enkulturasi)
  5. Pengertian dan Ciri Pendidikan Humanis
  6. Landasan Pendidikan Humanis
  7. Tujuan Pendidikan Humanis
  8. Pendekatan-Pendekatan Humanis

A. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN HUMANIS

Pemerintah memiliki kewajiban sebagai penyelenggara pendidikan. Hal ini tercantum pada Pembukaan UUD tahun 1945, yaitu pada alinea keempat, yang berbunyi: “Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa“, kemudian pada pasal 31, ayat 3, berbunyi: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang -undang”.

Pentingnya Pendidikan Humanis bagi segenap bangsa, adalah sebagai sumbangan gagasan atau ide dalam mewujudkan karakter bangsa yang baik. Di samping itu, Pendidikan Humanis ini lahir sebagai jawaban dan solusi atas munculnya berbagai hal yang berpotensi memberikan pengaruh negatif kepada Masyarakat, terutama bagi kalangan generasi muda. Hal-hal yang memberikan pengaruh negatif antara lain:

  1. Kemajuan alat dan jaringan komunikasi

Salah satu kemajuan yang tidak bisa dibendung adalah kemajuan komunikasi dan informasi. Hal ini dapat dilihat dengan beredarnya alat telekomunikasi seperti HP, dengan berbagai aplikasi di dalamnya seperti WhatsApp, Messenger, Telegram, Face Book, dan Instagram. Jika kemajuan alat komunikasi dan jaringan informasi ini dimanfaatkan secara bijaksana, tentu akan menambah pengetahuan dari orang yang bersangkutan. Namun jika sebaliknya, jika ada orang yang menyalahgunakan kemajuan tersebut, hal itu akan merugikan dirinya sendiri dan bahkan bisa merugikan bangsa dan negara. Di sinilah pentingnya kesadaran warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, untuk memanfaatkan alat komunikasi dan jaringan komunikasi secara bijaksana.

  1. Pergaulan bebas

Kemajuan komunikasi dapat memiliki dampak positif dan negatif, terutama bagi generasi muda. Dampak positifnya, jelas bahwa generasi muda khususnya pelajar dan mahasiswa, memiliki tambahan akses ke ilmu pengetahuan dan informasi. Sebaliknya dampak negatifnya, generasi muda bisa terpapar info-info mengenai pergaulan bebas.Generasi muda bisa terpapar informasi tentang seluk beluk pergaulan bebas yang terjadi di negara-negara benua Eropa maupun Amerika, padahal pergaulan bebas tersebut bertentangan dengan norma-norma yang terdapat di dalam Pancasila, Agama, maupun Adat Ketimuran.

  1. Narkotika

Saat ini di Indonesia terjadi peredaran narkotika yang begitu luas. Penyebaran ini tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga sudah masuk ke desa-desa. Korbannya tidak hanya dari kalangan yang memiliki banyak uang, tetapi juga dari kalangan masyarakat biasa. Pertanyaannya adalah “Bagaimana bisa itu terjadi?” Jawabannya, karena adanya orang atau sekelompok orang, yang demi meraih keuntungan sesaat, tega menghancurkan atau merusak bangsa Indonesia melalui komponen generasi muda.

  1. Doktrin atau ajaran ideologi selain ideologi Pancasila

Sisi lain yang bisa memengaruhi generasi muda Indonesia adalah masuknya ajaran/doktrin ideologi, yang bertentangan dengan Pancasila. Inilah yang dialami oleh sebagian generasi muda Indonesia, yang terlibat pada hal-hal yang berkaitan dengan aksi-aksi kekerasan berupa terorisme, seperti peledakan bom di area publik ataupun bom bunuh diri. Mengapa ini terjadi? Jawabnya tidak lain adalah karena pikiran dan jiwa pelaku kekerasan tersebut sudah terdoktrin untuk mendukung dan menganut ideologi tertentu dan tindakan kekerasan yang dilakukannya merupakan bentuk atau jalannya dalam berjihad.

Pengaruh negatif yang terjadi pada generasi muda sudah menjadi persoalan fundamental dalam pendidikan di Indonesia dan harus diatasi secara bersama-sama oleh seluruh elemen bangsa. Tentunya lembaga pendidikan sebagai Tri Pusat Pendidikan seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: 1) Pendidikan di dalam keluarga, 2) Pendidikan di dalam Masyarakat, dan 3) Pendidikan di dalam Perguruan (sekolah), dapat berkontribusi memberikan pendidikan Humanis sebagai penguat bela negara.

B. SEJARAH PENDIDIKAN HUMANIS

Pendidikan Humanis pada dasarnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Hal dapat dilihat dari semboyan Taman Siswa, yang dicetuskan oleh pendirinya yaitu Ki Hajar Dewantara, yaitu:

  1. Ing ngarsa sung tulada (di muka memberi contoh).
  2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun cita-cita).
  3. Tut wuri handayani (mengikuti dan mendukungnya).

(Wiryopranoto., dkk, 2017: 34).

Kehadiran Pendidikan Humanis sesungguhnya tidak bisa terlepas dari lahirnya pendidikan formal yang dirintis oleh tiga orang tokoh pendidikan Indonesia yaitu: 1) K.H. Ahmad Dahlan, 2) K.H. Hasyim Asy’ari, dan 3) Ki Hajar Dewantara. Mereka bertiga dianggap sebagai sosok peletak dasar berdirinya lembaga pendidikan formal yang dikenal hingga saat ini. Kepedulian, perhatian, dan rasa nasionalisme yang tinggi mendorong ketiga tokoh bangsa ini mendirikan lembaga sekolah, padahal di masa itu wilayah Nusantara masih sepenuhnya dijajah oleh Belanda.

Sebelum ketiga tokoh ini muncul sebagai pelopor pendidikan, sejatinya sudah ada juga lembaga pendidikan. Saat itu wujudnya masih berupa rintisan pendirian lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh Portugis di wilayah Maluku. Hal ini dapat kita lihat dari tulisan Makmur yang disajikan di bawah ini.

Berdirinya sekolah di Nusantara, terutama di wilayah Maluku, diinisiasi oleh bangsa Portugis. Portugis yang usaha awalnya adalah mencari dan membeli rempah-rempah di wilayah tersebut, ternyata sekaligus mendirikan sekolah bagi anak-anak pemuka masyarakat di sana. Hal sesuai kutipan berikut: “… Dalam tahun 1536 penguasa Portugis untuk daerah Maluku, Antonio Galvano mendirikan sekolah seminari untuk anak-anak para pemuka pribumi di Ternate, yang merupakan sekolah agama Kristen bagi anak-anak mereka. Sekolah yang sejenis kemudian didirikan di Pulau Solor, dengan jumlah murid sebanyak 50 orang…” (Djohan Makmur, dkk, 1993: 8).

Di masa berikutnya, pendidikan di Maluku diteruskan oleh pihak Belanda, yang menyelenggarakan pendidikan berbasis ajaran agama Kristen, hal ini sesuai kutipan berikut; “… Pendidikan berdasarkan sistem Barat pertama kali diselenggarakan di Kepulauan Maluku Selatan, dan terutama dikaitkan dengan penyebaran ajaran agama Kristen. Sekolah yang pertama didirikan oleh orang Portugis adalah di negeri-negeri (Kesatuan Daerah), yang penduduknya sudah memeluk agama Kristen. Ketika orang-orang Belanda mengambil alih kekuasaan orang-orang Portugis di sana, jumlah sekolah yang ada tidaklah begitu jelas, tetapi diperkirakan bahwa di Ambon terdapat 31 sekolah dan di Kepulauan Lease 26 sekolah…”, (Djohan Makmur, dkk, 1993: 11).

Namun, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan mendirikan sekolah, Para Wali Songo sudah terlebih dahulu melakukan penyebaran agama Islam di pulau Jawa, yaitu pada sekitar abad ke-14. Para wali menyelenggarakan pengajaran dalam bentuk dakwah, dengan mengajarkan agama Islam kepada semua lapisan masyarakat. Selanjutnya, dengan mondoknya murid-murid para wali, terciptalah cikal bakal keberadaan pesantren di kemudian hari.

Era berikutnya diwarnai kemunculan tokoh-tokoh pendidikan yang mendirikan lembaga pendidikan. Tokoh-tokoh yang dimaksud tersebut antara lain adalah:

  1. H. Ahmad Dahlan

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah “Raden Ngabei Ngabdul Darwis”. Ia kemudian dikenal dengan nama Muhammad Darwisy. K.H. Ahmad Dahlan Lahir di Kauman, Yogyakarta pada 1868. Ayahnya adalah seorang ulama, yang bernama KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman, yaitu seorang pejabat khatib di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim bin KH. Hassan, yaitu pejabat penghulu kesultanan (Mohmamad Soedja, 1993: 202). Ia adalah anak keempat dari tujuh orang bersaudara. Semua saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah, KH. Ahmad Dahlan termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, wali besar dan terkemuka di antara Wali Songo. Ia juga merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilah KH. Ahmad Dahlan adalah: Muhammad Darwisy (KH. Ahmad Dahlan) bin Abu Bakar bin Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Hery Sucipto, 2000: 50). Semasa kecil, K.H. Ahmad Dahlan tidak mengenyam pendidikan di sekolah formal. Hal ini disebabkan karena sikap orang-orang Islam pada waktu itu yang melarang anak-anaknya memasuki sekolah gubernamen (Belanda). Sebagai gantinya, ia diasuh dan dididik mengaji oleh ayahnya sendiri. Selain belajar kepada ayahnya di kampung Kauman, K.H. Ahmad Dahlan juga dikirim keluar Yogyakarta oleh ayahnya, untuk belajar beberapa ilmu pengetahuan. Di antaranya, K.H. Ahmad Dahlan belajar ilmu Fiqih dari K.H. Muhammad Saleh, ilmu Nahwu dari K.H. Muhsin, ilmu Falak (Astronomi) dan Geografi dari Kyai Raden Haji Dahlan, ilmu Qiraah dari Syaikh Amin dan Sayid Bakri, serta ilmu Hadis dari Kyai Mahfudh dan Syaikh Khayyat (Weinata Sairin, 1995: 43).

Pada tahun 1883, K.H. Ahmad Dahlan yang berusia 15 tahun memutuskan untuk naik haji yang pertama kalinya, dengan dibiayai oleh kakak iparnya yaitu Kyai Sholeh. Ia melanjutkan dengan menuntut ilmu Agama dan Bahasa Arab di Makkah selama 5 tahun. Pada periode ini ia memperdalam ilmu Agama, seperti Qiraah, Tafsir, Tauhid, Hadits, Tasawuf, Fiqih, dan Falak (Herry Muhammad, dkk, 2006: 8). Inilah yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan bersinggungan secara langsung dengan ulama-ulama yang berasal dan tinggal di Timur Tengah. Ia juga sempat bersosialisasi dengan Syaikh Khatib, Syeikh Jamil dari Minangkabau, Kyai Nahrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, dan para ulama dari Arab (HM Nasruddin Anshoriy, 2010: 51).

Nama Muhammad Darwis diganti dengan Ahmad Dahlan, setelah ia pulang dari tanah suci. Tidak berapa lama kemudian, ia menikah dengan Siti Walidah Puteri Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan Ketua Aisyiyah. Pemikiran dan perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap pendidikan rakyat membuatnya mencurahkan segala energi dan waktunya untuk membantu masyarakat agar semua orang bisa membaca, menulis, dan berhitung. Puncak perhatian K.H. Ahmad Dahlan di bidang pendidikan adalah saat ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia-Belanda demi  mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Waktu itu, izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta, dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta (Djohan Makmur, dkk, 1993: 22-23).

  1. KH Hasyim Asy’ari

KH Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa 24 Dzulqa’dah 1287 Hijriyah, atau pada tanggal 14 Februari 1871 M; di Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara. Ayahnya, bernama Kyai Asy’ari, berasal dari Demak; dan ibunya, bernama Halimah, merupakan putri Kyai Usman (Muhammad Rifai, 2018: 17). Ayahnya adalah pendiri Pesantren Keras di Jombang; sedangkan kakeknya, Kyai Usman, adalah seorang Kyai terkenal yang memimpin dan mengasuh Pesantren Gedang.

  1. Hasyim Asy’ari merupakan campuran dua darah atau trah, yaitu darah biru (ningrat, priyayi, keraton), dan darah putih (kalangan tokoh agama, kyai, santri). Asal-usul dan keturunannya tidak dapat dipisahkan dari riwayat dua kerajaan, yaitu Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak. Nasabnya dari pihak ayah, yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (pangeran Bona) bin Abdurrohman (Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatih bin Maulana Ishaq (Sunan Giri). Sedangkan nasabnya dari pihak ibu, yaitu Muhammad Hasyim Asy’ari bin Halimah binti Layyinah binti Sichah bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Banawa bin Jaka Tingkir (Mas Karebet) bin Prabu Brawijaya VI (Lembu Peteng) Raja Majapahit terakhir (Muhammad Rifai, 2018: 15-18).

Sejak masih kecil, KH. Hasyim Asy’ari telah mengenyam pendidikan pesantren, dan mendapatkan pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya (Kyai Usman). Ia merupakan anak yang cerdas, mudah dalam menyerap dan menghafalkan ilmu yang diberikan. Sehingga pada usia 13-14 tahun, ia diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren. Ketika berusia 15 tahun, ia mulai berkeinginan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari luar pesantren ayahnya, sehingga ia mulai berkelana dari satu pesantren ke pesantren yang lainnya. Mulai dari menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), sampai Pesantren Trenggilis (Semarang).

Merasa belum puas dengan ilmu yang didapatnya, ia kembali menjadi santri di Pesantren Kademangan (Bangkalan) yang diasuh oleh Kyai Kholil. Tidak lama berada di sana, ia pindah lagi ke Pesantren Siwalan (Sidoarjo) yang diasuh oleh Kyai Ya’qub. Dari sekian banyak pondok pesantren, di pesantren inilah ia menjadi santri cukup lama, yaitu selama lima tahun. Tidak hanya mendapatkan ilmu, ia juga dijadikan menantu oleh Kyai Ya’qub yang mengagumi kecerdasan dan kealimannya (Muhammad Rifai, 2018: 21-22).

Setelah menikah dengan putri Kyai Ya’qub, KH. Hasyim Asy’ari melaksanakan haji ke Makkah bersama dengan istrinya. Di sana ia juga belajar Ilmu Hadis pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang merupakan ulama dan guru besar terkenal di Makkah, dan merupakan salah satu imam di Masjidil Haram untuk penganut Madzhab Syafi’i. Selanjutnya pada tahun 1893, KH. Hasyim Asy’ari kembali melaksanakan ibadah haji untuk kedua kalinya, beliau berangkat bersama dengan adiknya yang bernama Anis. Sejak saat itu ia menetap di sana untuk melanjutkan pendidikannya (Muhammad Rifai, 2018: 22-23).

Setelah menetap kurang lebih 7 tahun di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari kembali pulang ke Indonesia. Ia kemudian mengajar di pondok pesantren milik kakeknya, yaitu Kyai Usman, sebelum akhirnya mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (Muhammad Rifai, 2018: 23). Pesantren Tebuireng didirikannya pada tanggal 26 Rabi’ul Awwal tahun 1317 H atau 3 Agustus tahun 1899 M, tepatnya di Dusun Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Pada awal pendiriannya, pesantren ini terdiri dari dua bangunan kecil yang luasnya kurang lebih 6×8 meter, dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Satu bangunan yang berada di depan digunakan untuk kegiatan mengajar, pengajian, dan sholat berjamaah. Sementara bagian belakang digunakan sebagai tempat tinggal KH. Hasyim Asy’ari bersama dengan istrinya (Khadijah). Pada saat itu, jumlah santri di Pesantren Tebuireng hanya 8 orang, dan bertambah menjadi 28 orang setelah tiga bulan kemudian (Muhammad Rifai, 2018: 41-43).

Sebelum K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Desa Tebuireng, kondisi kehidupan masyarakat di desa tersebut terjadi berbagai tindakan kekerasan seperti pencurian, perampokan, berzina, dll. Melihat situasi masyarakat yang melanggar norma agama dan adat, maka ia mendirikan pesantren di Desa Tebuireng. Sebagai pemimpin di Pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari melakukan beberapa pembaharuan dalam sistem dan kurikulum belajar. Jika sejak berdirinya, sistem pengajaran di Pesantren Tebuireng menggunakan metode sorogan dan bandongan, maka pada tahun 1916-1919 mulai dikenalkan sistem madrasah dan dimasukkan pendidikan umum (seperti Matematika, Bahasa Melayu, dan Ilmu Bumi), di samping pendidikan agama ke dalam kurikulum madrasah. Kemudian pada tahun 1926, kurikulumnya ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah Indonesia, yang diperkenalkan oleh keponakan KH. Hasyim Asy’ari, yaitu Kiai Ilyas. Selain itu, setelah tahun 1916, Pesantren Tebuireng juga mulai menerapkan metode musyawarah dalam sistem pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan, mengembangkan kreativitas, serta menumbuhkan sikap kritis para santri. Mereka diberikan kebebasan dalam berargumen dan berdebat mengenai suatu permasalahan, dengan rujukan dari berbagai sumber (Muhammad Rifai, 2018: 46-48).

Pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, KH. Hasyim Asy’ari bersama KH. Wahab Hasbullah, serta beberapa ulama berpengaruh lainnya, mendirikan Organisasi Islam yang dikenal dengan Nahdhatul Ulama (NU). Selain itu, KH. Hasyim Asy’ari juga menyatukan umat Islam yang sebelumnya terpecah-pecah, menjadi banyak organisasi dan perkumpulan ke dalam satu wadah, yaitu MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) pada tanggal 23 September 1937 (Muhammad Rifai, 2018: 67).

Menurut KH Abdul Hakim Mahfudz (pengasuh Pesantren Tebuireng), berdirinya NU bukan sekedar merupakan keinginan untuk membangun barisan, tetapi untuk merespons situasi dunia Islam kala itu yang sedang dilanda pertentangan paham, antara paham pembaharuan dengan paham bermazhab. Dalam situasi pertentangan paham yang kian meruncing, menurut Hakim Mahfudz, NU hadir dengan pemikiran yang lebih moderat. Cicit KH Hasyim Asy’ari itu menjelaskan, pandangan NU yang lebih moderat, pada akhirnya membuat interaksi dan komunikasi dunia Islam menjadi lebih mudah. “Sehingga orang muslim di Indonesia, terutama orang NU, kalau bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim di dunia bisa ‘nyambung. Dibanding dengan sebelum ada NU,” kata Hakim Mahfudz, saat ditemui di Pesantren Tebu Ireng, Rabu (https://regional.kompas.com).

  1. Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir pada 2 Mei 1889 M di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, sebagai putera dari GPH Soerjaningrat atau cucu Sri Paku Alam III (Kanjeng Adipati Harjo Surjo Sasraningrat). Sedangkan ibundanya bernama Raden Ayu Sandiyah yang juga merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, yaitu salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga (Suparto Raharjo, 2009: 9). Dengan demikian, selain Ki Hadjar Dewantara merupakan keturunan bangsawan, ia juga merupakan keturunan ulama karena masih mempunyai silsilah keturunan dengan Sunan Kalijaga. Oleh karena itu, sebagai seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio cultural dan religius yang tinggi, serta kondusif.

Ki Hadjar Dewantara mengganti nama ketika beliau berusia 39 tahun, alasan beliau mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara adalah karena keinginan beliau untuk lebih merakyat atau lebih dekat dengan rakyat. Dengan mengganti nama tersebut, akhirnya Ki Hadjar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat kebanyakan, sehingga dengan demikian perjuangannya menjadi lebih mudah diterima oleh rakyat pada masa itu (Bambang S Dewantara, 1981: 8-9).

Selain memperoleh pendidikan di lingkungan Istana Paku Alam, Ki Hajar Dewantara juga memperoleh pendidikan agama dari pesantren Kalasan yang diasuh oleh KH. Abdurrahman (Suparto Raharjo, 2009: 9). Selain itu, ia mengawali pendidikan formalnya dengan masuk ELS (Europeesche Lagere School) Sekolah Rendah untuk anak-anak Eropa. Kemudian ia mendapat kesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen) yang biasa disebut Sekolah Dokter Jawa. Namun karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan, ia tidak mampu tamat dari sekolah ini (Wiryopranoto, dkk, 2017: 9-10). Ki Hajar Dewantara juga mengikuti pendidikan sekolah guru yang bernama Lagere Onderwijs hingga akhirnya berhasil mendapatkan ijazah (Sita Acetylena, 2018: 19).

Semasa hidupnya Ki Hajar Dewantara pernah aktif sebagai wartawan. Sebagaimana kutipan berikut ini: “… Adapun profesi yang digelutinya adalah dunia jurnalisme yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu itu: Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum bumi putra kepada penjajah. Tulisannya komunikatif, halus, mengena, tetapi keras…”, (Wiropranoto, 2017: 10).

Ki Hajar Dewantara bersama dengan Danudirdja Setyabudhi (atau yang dikenal dengan Douwes Dekker) dan Cipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada 25 Desember 1912, dengan tujuan untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, namun ditolak oleh Belanda karena dianggap dapat menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat. Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hajar Dewantara ikut membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913. Komite ini didirikan sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.

Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingannya di negeri Belanda. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Taman siswa, pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Di tanah air, ia mencurahkan perhatiannya di bidang pendidikan dan menggunakannya sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Perguruan Nasional Taman siswa, sebuah perguruan yang bercorak nasional (Nationaal Onderwijs Institut), sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik, agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan (Bambang S Dewantara, 1981: 108).

Mengapa Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922? Menurutnya, pendidikan adalah alat mobilisasi politik sekaligus sebagai penyejahtera umat. Dari pendidikan akan dihasilkan kepemimpinan anak bangsa, yang akan memimpin rakyat dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata, yaitu pendidikan yang bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Jiwa politis Ki Hajar Dewantara sudah mendorongnya untuk menyatu dengan rakyat, sehingga meski ia keturunan bangsawan yang pada waktu itu masih terpisah oleh jurang yang lebar dengan kehidupan wong cilik, ia berusaha menutup celah itu. Sebuah kehidupan yang demokratis, yang bisa dinikmati rakyat banyak (Wiryopranoto, dkk, 2017: 32-33).

C. PENDIDIKAN INDONESIA SETELAH MERDEKA

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A, mengamanatkan bahwa Negara kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Begitu juga sesuai dengan Deklarasi Djuanda, yang menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara. Wilayah NKRI meliputi wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Luas Wilayah Indonesia 5.180.053 km2, yang membentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Luas daratan Indonesia 1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2.

Indonesia adalah negara kepulauan. Luas wilayah Indonesia yang besar berpengaruh terhadap keberagaman yang dimiliki negara ini sehingga masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebuah masyarakat majemuk (plural society). Ada lebih dari 500 suku bangsa yang dipersatukan oleh sebuah sistem yang nasional, sebagai bangsa dalam wadah sebuah negara kesatuan Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragam. Jenis keragaman yang dimilikinya mencakup keberagaman wilayah dan lingkungan, keberagaman suku bangsa dan budaya, keberagaman agama, keberagaman ras, keberagaman golongan, keberagaman jenis kelamin dan gender.

Kehidupan beragam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut menimbulkan perbedaan dalam masyarakat. Kondisi iklim dan alam antarwilayah di Indonesia berbeda. Keberagaman Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain letak strategis wilayah Indonesia, kondisi negara yang berupa kepulauan, perbedaan kondisi alam, keadaan transportasi dan komunikasi, serta penerimaan masyarakat terhadap perubahan. Indonesia merupakan negara yang kaya akan perbedaan dan keberagaman. Kondisi tersebut membuat Indonesia rentan terpecah belah akibat perbedaan yang ada. Perpecahan di masyarakat dapat memicu konflik yang menimbulkan kerugian bagi berbagai pihak. Oleh karenanya, diperlukan sifat toleransi dan juga tenggang rasa terhadap perbedaan dan kemajemukan di masyarakat. Sifat toleransi ini harus ditanamkan sejak dini supaya orang indonesia bisa menerima perbedaan yang ada.

Sikap dan perilaku toleransi terhadap keberagaman masyarakat merupakan kunci untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, serta mencegah terjadinya proses perpecahan dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Setiap individu hendaknya mengaplikasikan perilaku toleransi terhadap keberagaman suku, agama, ras, budaya, dan antargolongan. Sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meskipun memiliki keragaman budaya, Indonesia tetap satu.

Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku manusia secara sadar maupun tidak merupakan bentukan dari budaya yang ada di sekitarnya. Pendidikan merupakan salah satu bagian dari ruang lingkup kebudayaan sangat luas (mencakup segala aspek kehidupan manusia). Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi (keterasingan) dari subjek yang dididik, dan menyebabkan matinya kebudayaan itu sendiri.

Perubahan kebudayaan akan mengubah pendidikan dan begitu pula sebaliknya, karena pendidikan adalah suatu proses membuat seseorang termasuki oleh budaya dan membuatnya berperilaku mengikuti budaya tersebut. Sebagai suatu proses yang kompleks, tentunya diperlukan sebuah sistem yang dapat mendukung tercapainya tujuan dari pendidikan itu sendiri. Dalam perwujudannya, sebagai negara yang memiliki budaya yang beragam, tentunya tujuan dan sistem pendidikan di Indonesia harus dilandaskan pada budaya. Pendidikan yang berkualitas menjadi penyokong kemajuan suatu bangsa.

Perkembangan pendidikan Indonesia setelah merdeka membawa dampak pada Pemerintah untuk membangun sekolah formal guna untuk mengembangkan dan mendidik Masyarakat agar orang Indonesia memiliki pemikiran yang cakap secara intelektual. Pendidikan Indonesia setelah Merdeka terbagi menjadi 3 periode berikut:

  1. Periode 1945-1950

Pada masa setelah Merdeka, pemerintah membagi sistem pendidikan di Indonesia, sebagai berikut:

  1. Pendidikan Rendah, sering disebut Sekolah Rakyat, yang ada sejak awal kemerdekaan; dengan lama pendidikan semula 3 tahun menjadi 6 tahun, sekarang lebih dikenal dengan SD (Helius Syamsudin, 1993: 18).
  2. Pendidikan Umum, sering disebut sekolah menengah, yang terbagi atas SMP, dan, SMT dengan lama pendidikan masing-masing 3 tahun; sekarang lebih dikenal dengan SMP dan SMA.
  3. Pendidikan Kejuruan, yang terbagi atas Kejuruan Tingkat Pertama, yaitu: SMEP, ST, STP, SKP, SGB, dan KPKPKB. Sementara Kejuruan Tingkat Menengah, yaitu: STM, SMEA, SPM, SMKA, SGA, SGTK, SGKP, SGPD. Lama pendidikannya masing-masing adalah 3-4 tahun.
  4. Pendidikan Guru, yang terbagi atas SGB dan SGA, sekarang dikenal dengan nama PGSD. Dengan lama pendidikan 3-4 tahun. Sekolah Guru dilakukan secara singkat, karena saat itu Indonesia sangat kekurangan guru.
  5. Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan tingkat Universitas, dengan lama pendidikan 4 tahun (Kartodirjo Sartono, 1976: 266).
  1. Periode 1950-1975
    1. Pendidikan prasekolah dan pendidikan dasar, TK, dan SD.
    2. Pendidikan Menengah Umum, SMP, dan SMA.
    3. Pendidikan Kejuruan. Tingkat pertama: SMEP, SKP, ST, SGB, KPKPKB; dan tingkat Menengah: SMEA, SGA, SKMA, SGKP, SPMA, SPM, STM, dan SPIK.
    4. Pendidikan Tinggi, Universitas, Institut Teknologi, Institut Pertanian, Institut Keguruan, Sekolah Tinggi, dan Akademi.
  2. Periode 1978-sekarang
    1. Pendidikan pra sekolah, TK, dan PAUD.
    2. Pendidikan Dasar, SD.
    3. endidikan Menengah Umum, SMP (SLTP) dan SMA (SLTA/SMU).
    4. Pendidikan Menengah Kejuruan, Tingkat Pertama: ST, dan SKKP. Tingkat Atas; SMK.

 

D. PERANAN PENDIDIKAN FORMAL DALAM PROSES PEMBUDAYAAN (ENKULTURASI)

Sekolah atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari proses pembudayaan, Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”. Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya melihat bahwa pendidikan merupakan upaya membudayakan dan mensosialisasikan manusia, sebagaimana yang kita kenal dengan proses enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat, sehingga anak tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat yang bersangkutan).

Dalam pengertian ini, pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya, dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup; baik secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Pendidikan sangat penting, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan sebagai manusia yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap orang, kemudian dapat menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk bio-sosial.

Proses pembudayaan (enkulturasi) adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang, yang didasari oleh ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehingga setiap individu dapat memainkan perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku peserta didik. Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO yakni bahwa belajar bukan hanya untuk sekadar mengetahui (to know), tetapi juga menggiring peserta didik untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental). Ini didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri.

Tugas pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya sedini mungkin, menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki anak, serta mengarahkan anak pada persiapan menghadapi tantangan masa depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkret (observable) dan terukur (measurable), yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi (Soedijarto, 2008: 472).

Melalui pendidikan, kita bisa membentuk suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Sejalan dengan ini, dari konsep agama, pendidikan dipandang sebagai upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif (kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien, emosional, dsb) menuju pada sifat-sifat yang positif (cerdas, tenggang rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak tegas) atas dua dasar aturan yaitu (1) hubungan dengan sesama manusia, dan (2) hubungan dengan Tuhan.

Semua sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang buruk serta yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bagian kehidupan di alam ini, termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat; serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur.

Untuk mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring peserta didik agar mampu menggunakan segala apa yang telah dimilikinya. Selanjutnya, apa yang diperoleh anak selama proses belajar dapat bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini, dalam kehidupan nyata, kehidupan akademis dan non-akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Program dan proses pembelajaran seharusnya tidak membuat dikotomi (melakukan pemisahan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat; sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.

Untuk menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata, sesungguhnya terkait dalam hubungan yang sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan pengetahuan akademis, terdapat hubungan keterikatan yang kontinu. Tidak satupun komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan norma budaya. Pendidikan adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan.

Negeri mana pun, termasuk Indonesia, sudah pasti menginginkan pendidikan yang terbaik demi mencetak sumber daya manusia yang andal. Oleh karena itu, diperlukan sistem pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan proses edukasi yang efektif dan efisien. Indonesia sendiri memiliki sejarah yang panjang terkait sistem pendidikan. Hingga saat ini, sistem pendidikan yang diterapkan dalam negeri memang memiliki keunggulan. Namun, kelemahan tak akan luput dari sistem seperti apa pun. Pendidikan merupakan jalan utama mencapai kesejahteraan; dan sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa negara-negara yang memiliki sistem pendidikan yang matang, sebagian besarnya sudah menjadi negara yang maju, sejahtera, dan mampu hidup berdikari tanpa ketergantungan terhadap negara lain. Ini membuktikan pendidikan akan berperan besar dalam proses kemajuan Negara Indonesia; berbagai konsep, kurikulum, dan sistem pendidikan sudah dikembangkan di negara kita ini.

Dalam dunia pendidikan pembentukan karakter, peserta didik sungguh sangat diperlukan. Pendidikan bukan hanya melulu menjadi alat transfer pengetahuan semata, tetapi juga menjadi alat transfer untuk membentuk manusia menjadi lebih manusiawi. Bila dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa, pendidikan bisa diartikan secara lebih sempit sebagai suatu cara membangun dalam berkehidupan bersama. Dalam skala tataran antarkomunitas (tanpa melihat etnis, suku, agama, ras dan sebagainya) berkehidupan bersama berarti telah sepakat secara sadar untuk melakukan ikatan bagi anggotanya menjadi suatu komunitas yang dilakukan dalam wilayah yang pasti dan sah, serta diakui komunitas masyarakat lainnya (baca: internasional). Dari sudut pandang inilah kemudian timbul berbagai teori tentang bangsa dan negara.

F. PENGERTIAN DAN CIRI PENDIDIKAN HUMANIS

Pendidikan Humanis secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan humanis. Menurut kamus bahasa Indonesia,  arti pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Berdasarkan pengertian tersebut, pendidikan tidak hanya dilakukan di lembaga sekolah atau formal saja, tetapi bisa juga dilaksanakan di luar pendidikan formal. Kata kedua, humanis, dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti antara lain yaitu: orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya lingkungan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia.

Berdasar arti dari kata pendidikan dan humanis, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa pendidikan humanis adalah pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan dengan cara yang berazaskan nilai-nilai kemanusiaan, dan bertujuan untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Seperti yang dijelaskan Baharuddin dalam bukunya Pendidikan Humanistik, mereka mengatakan bahwa “Pendidikan humanis adalah pendidikan yang membimbing, mengembangkan, dan mengarahkan potensi dasar manusia (baik jasmani dan rohani) secara seimbang” (M Makin Baharuddin, 2007: 114).

Pendidikan Humanis harus memiliki ciri khas tersendiri, yang membedakannya dengan pendidikan yang sudah dikenal oleh segenap rakyat Indonesia. Ciri-ciri khas yang dimaksud adalah:

  1. Student Centered Learning. Konsep ini sesuai dengan konsep pembelajaran Carl Rogers yaitu: a) Memfasilitasi orang lain tanpa mengajar; b) Memperkuat diri dengan belajar secara signifikan; c) Belajar tanpa tekanan; dan d) Mendidik dan mengajarkan peserta didik secara signifikan tanpa tekanan, dan memfasilitasi perbedaan yang ada.
  2. Humanizing The Classroom. Model pendidikan ini berpedoman pada tiga hal, yaitu menyadari diri (yang merupakan proses pertumbuhan, perubahan, dan perkembangan yang terus berubah) menggali konsep identitas diri, dan membuka jalan berpikir yang luas. Perubahan yang dilakukan bukan hanya pada materi, tetapi juga pada aspek metodologis yang dipandang manusiawi.
  3. Active Learning. Model Pendidikan ini merupakan gagasan dari M. L. Siberman. Pendidikan active learning merupakan pendidikan yang dilakukan dengan cara mendengar, melihat, dan mendiskusikan, untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam menguasai pelajaran.
  4. Quantum Learning. Quantum Learning menggabungkan sugestiologi, teknik pemercepatan belajar, dan neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu (Hernacki dan de Porter, 2004: 164). Asumsi Quantum Learning dalam belajar adalah bahwa peserta didik harus mampu menggunakan potensi nalar dan emosi secara tepat.
  5. Quantum Teaching. Model pendidikan yang mengajak peserta didik lebih aktif dalam proses pembelajaran sehingga menciptakan suasana yang tidak membosankan, di mana pendidik mampu berinteraksi dalam membawa potensi fisik, emosi, dan psikis peserta didik menjadi sesuatu yang integral. Dalam model pendidikan Quantum Teaching, pendidik harus mampu melibatkan peserta didik (baik dari segi pikiran, bahasa tubuh, dan perasaan) dalam ranah pendidikan.
  6. The Accelerated Learning. Pendidik mampu melakukan metode pendekatan pembelajaran. Misalnya belajar dengan metode animasi, belajar dengan cara visual, belajar dengan cara menggambarkan dan mengamatinya, dan belajar dengan cara diskusi memecahkan masalah yang ada dan melakukan refleksi seperti mengajukan tanya jawab sehingga membuat kelas aktif dan dapat mengembangkan wawasan peserta didik.
  7. Ing ngarsa sung tulada. Ing ngarsa sung tulada maksudnya yaitu ketika berada di depan, seorang pendidik harus menjadi contoh dan teladan bagi peserta didiknya. Pendidik sebagai contoh dan teladan ini tidak hanya berlaku di lingkungan sekolah semata-mata, tetapi juga di luar lingkungan sekolah. Sedangkan kata guru sesungguhnya berasal dari orang yang digugu dan ditiru, yaitu yang ucapannya diikuti dan perbuatannya diteladani (ditiru).
  8. Ing madya mangun karsa. Ketika berada di tengah-tengah, guru harus memberikan pengaruh yang baik. Guru harus menunjukkan fungsi dan peran sebagai seorang yang tidak hanya mengajar, tetapi sekaligus berperan sebagi pendidik. Peran guru sebagai pengajar dan pendidik ini memang harus benar-benar dijalankan secara bersamaan dan saling mendukung.
  9. Tut wuri handayani. Tut wuri handayani bermakna bahwa ketika berada di posisi belakang, seorang guru harus menjadi pengayom bagi muridnya. Bila ada muridnya yang keluar jalur, sang guru berkewajiban mengingatkan muridnya atas kesalahan atau kekeliruan yang dilakukannya.

Semboyan mendidik yang dikemukan oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara tersebut memiliki makna dan nilai filosofis yang luas dan mendalam, sehingga bila kita mampu mempraktikkan maka pendidikan di Indonesia akan sangat humanis.

F. LANDASAN PENDIDIKAN HUMANIS

Landasan Pendidikan Humanis dimaksudkan sebagai pondasi atau dasar keberadaan dari Pendidikan Humanis. Tujuan dari landasan bagi Pendidikan Humanis, adalah supaya kedudukan dan keberadaan Pendidikan Humanis memiliki kekuatan mendasar, sehingga tidak mudah untuk ditumbangkan atau dirubuhkan. Landasan Pendidikan Humanis, antara lain adalah:

  1. Landasan Sejarah

Landasan sejarah dimaksudkan, bahwa Pendidikan Humanis memiliki keterkaitan dengan sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia pernah mengalami masa-masa sulit, yakni pada masa dijajah oleh bangsa Belanda selama ± 350 tahun. Pada masa penjajahan inilah bangsa Indonesia kehilangan kebebasannya, kemerdekaannya, dan yang paling memprihatinkan adalah kehilangan kesempatan untuk pintar dan cerdas karena tidak memiliki kesempatan untuk belajar atau mengecap pendidikan.

  1. Landasan Filosofis

Pendidikan Humanis secara filosofis, dapat dilihat dalam pepatah leluhur yang sudah diperkenalkan di sekolah-sekolah, terutama di era tahun 70-an dan 80-an. Filosofis dimaksud yaitu: “Rajin pangkal padai dan malas pangkal bodoh”. Secara formal filosofis ini terdapat pada pengertian pendidikan, menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar  dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,  kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara“.

  1. Landasan Budaya

Landasan budaya Pendidikan Humanis, mengacu kepada pendapat Sajoga dalam Widya Noventari, tentang maksud dan tujuan Taman Siswa. Menurut Sajoga, maksud dan tujuan Taman Siswa, yaitu: pertama, pendidikan dan pengajaran berwujud untuk mengembangkan keturunan dari bangsa agar dapat tumbuh dengan sehat, lahir dan batinya; kedua, pengajaran yang kita dapat dari orang barat selama ini tidak terlepas dari pengaruh politik kolonial, yang bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi pihak kolonial; ketiga, karena pendidikan yang berjiwa kolonial tersebut, maka kita tidak dapat mengadakan perikemanusiaan sendiri, dan sangat tergantung pada bangsa barat; keempat, dikarenakan jalur pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah yang ada hingga kini ini ditujukan untuk kepentingan kolonial semata, maka seharusnya kita berani membuat sistem pendidikan pedagogik dan metodik baru yang bersandarkan atas kebudayaan kita sendiri, dan mengutamakan kepentingan masyarakat kita sendiri; dan kelima, ingatlah pula bahwa di Eropa dan Amerika, timbul aliran pendidikan dan pengajaran baru berdasarkan kemerdekaan dan idealisme sebagai reaksi dari cara paksaaan (Widya Noventari, 2020: 87).

  1. Landasan Yuridis

Landasan yuridis atau hukum Pendidikan Humanis, merupakan landasan yang berasal dari ketentuan konstitusi maupun undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang mengatur tentang pendidikan. Adapun landasan yuridis Pendidikan Humanis, antara lain yaitu:

  1. Pasal 31 ayat (1), UUD tahun 1945 berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”,
  2. Pasal 31 ayat (2), UUD tahun 1945 berbunyi: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
  3. Pasal 5 ayat (1), UU No. 20 tahun 2003 berbunyi: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

 

G. TUJUAN PENDIDIKAN HUMANIS

Tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai. Tujuan pendidikan humanis adalah:

  1. Supaya tercapai pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai humanis.
  2. Terjalin hubungan yang humanis antara guru dan peserta didik.
  3. Terwujudnya hubungan yang harmonis, yang humanis, antara sesama anggota masyarakat; tanpa membeda-bedakan suku, agama, maupun status sosial.
  4. Terjalin hubungan yang harmonis antara penduduk dengan pemerintah.
  5. Terjalin hubungan persahabatan dengan bangsa lain, yang didasari oleh nilai-nilai humanis.

Dengan demikian, melalui pendidikan humanis ini dipandang bahwa perkembangan kognitif atau intelektual sama pentingnya dengan perkembangan afektif peserta didik, yang harus dikembangkannya dan merupakan aspek terpenting dalam pendidikan. Dengan demikian, proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dalam proses belajarnya, peserta didik harus berusaha, agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Pendidikan humanis berorientasi pada pengembangan manusia, penekanan nilai-nilai manusiawi, dan penekanan nilai-nilai kultural dalam pendidikan. Dalam arti lain, pendidikan humanis diselenggarakan untuk memanusiakan manusia.

Berpegang pada dasar humanis itu sendiri, secara umum tujuan pendidikan humanis, mencakup: (1) perbaikan komunikasi antara individu, (2) peniadaan individu yang saling bersaing, (3) pelibatan intelek dan emosi dalam suatu proses belajar, (4) pemahaman dinamika bekerja sama, dan (5) kepekaan terhadap pengaruh perilaku individu lain dalam lingkungan (Bakri Anwar, 2020: 114).

 

H. PENDEKATAN-PENDIDIKAN HUMANIS

Pendekatan Pendidikan Humanis, secara garis besar meliputi dua hal yaitu:

  1. Pembelajaran yang Menyenangkan

Proses belajar mengajar akan menentukan arah dan tujuan pendidikan yang kita lakukan. Bagaimana seni menguasai kelas untuk menerangkan materi pembelajaran. Dalam dunia pendidikan dikenal istilah pedagogik; pedagogik sendiri berasal dari kata “paedagogia” yang berarti pergaulan dengan anak, pedagogik yang merupakan praktek pendidikan anak. Dari situ, muncullah istilah pedagogik yang berarti ilmu mendidik anak.

Secara umum, pendidikan dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bermakna sebagai usaha menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan dalam arti yang sempit dapat berarti pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga atau tempat di mana para siswa dididik agar mempunyai kemampuan kognitif serta kesiapan mental yang sempurna dan berkesadaran maju; yang kelak berguna bagi mereka saat terjun ke masyarakat, menjalin hubungan sosial, dan memikul tanggung jawab sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Pembelajaran merupakan salah satu proses dalam menjalankan pendidikan. Terdapat tiga lingkup komponen dalam membentuk pembelajaran, yaitu pertama, kurikulum yang merupakan materi yang akan diajarkan; kedua, proses yang menggambarkan bagaimana materi yang akan diajarkan; dan ketiga, produk yaitu hasil dari proses pembelajaran (Abrari Rusyan, 1989: 64). Dengan demikian, kurikulum dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis tingkat pembelajaran. Dengan adanya kurikulum, pembelajaran akan terstruktur dan hal ini pada akhirnya akan dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

Pendidik memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik melalui proses pembelajaran, di mana pendidik harus menciptakan pembelajaran yang kreatif, inovatif, menyenangkan, aktif, dan efektif. Tuntutan dan tantangan peran pendidik adalah bagaimana ia dapat merancang pembelajaran yang dapat memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan imaginasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya. Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), yang sempat marak akibat dampak pandemi COVID-19, telah membuat interaksi yang berlangsung di sekolah hampir kehilangan human dan personal touch-nya. Dengan demikian dikhawatirkan jika proses pendidikan dilakukan secara daring atau online akan hampir sama dengan interaksi manusia di pabrik yang akan menghasilkan produk-produk serba mekanistis dan robotis.

Jika dilihat dari berbagai kendala pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan daring atau online, permasalahan utamanya terdapat pada proses pembelajaran yang masih melekat dengan “gaya bank” yang dipopulerkan oleh Paulo Freire. Gaya bank dikenal dengan beberapa bentuk pembelajarannya, yaitu:

  1. Guru mengajar, murid diajar.
  2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu.
  3. Guru berpikir, murid dipikirkan
  4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan.
  5. Guru menentukan peraturan, murid diatur
  6. Guru memilih dan memaksakan, murid menyetujui.
  7. Guru berbuat, murid membayangkan dan berbuat.
  8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
  9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
  10. Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka.

Maka pendidikan saat ini, dituntut kembali untuk menguatkan pendekatan pendidikan yang humanis. Humanis berasal dari bahasa Latin, yaitu “humanus” berarti manusia, dan memiliki arti manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (Mangunhardjana, 1997: 93). Pendidikan Humanis adalah pendidikan yang bukan hanya mengembangkan kualitas kognitif, tetapi juga mengembangkan psikomotorik dan efektif, sehingga dalam proses pembelajaran nilai kemanusiaan yang terdapat dalam diri peserta didik dapat dikembangkan. Model pendidikan humanis memerlukan peserta didik yang unik dan aktif, sehingga mengusahakan peserta didik aktif berpatisipasi dalam kelas.

  1. Pendidikan Bermartabat

Pembangunan karakter dalam dunia pendidikan dilakukan dengan mempersiapkan peserta didik agar mempunyai dasar yang kuat dalam mengambil keputusan hidupnya. Pendidikan harus menjadikan peserta didik makin bermartabat, dalam hal ini pendidikan berupaya membangun karakter anak bangsa, sehingga menjadikan bangsa mereka dan makin bermartabat. Untuk itu diperlukan pendidikan yang bermartabat. Pendidikan bermartabat adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan yang membuat peserta didik menjadi makin bernilai dan berharga. Peserta didik yang merasa berharga dan dicintai akan makin antusias dalam mengikuti proses belajar mengajar.

Scroll to Top