KARAKTER DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN (HUMAN  VALUES)

BAB II. KARAKTER DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN (HUMAN  VALUES)

  1. Definisi Karakter
  2. Unsur-Unsur Karakter
  3. Pembentukan Karakter dan Nilai-Nilai Kemanusiaan (Human Values)
  4. Konsep Nilai Kemanusiaan (Human Values)

A. DEFINISI KARAKTER

Karakter adalah seperangkat sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebajikan, dan kematangan moral seseorang. Secara etimologi, istilah karakter berasal dari bahasa Latin “character” yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang (Doni Kusuma, 2007:50).

Pengertian karakter, berdasarkan beberapa sumber buku, di antaranya adalah: (1) menurut Poerwadarminta, karakter berarti tabiat, watak sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain (Syarbini, 2012: 13); (2) menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan (Fathul Muin, 2011: 160); (3) menurut Coon, karakter adalah suatu penilaian subjektif terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima oleh masyarakat (Zubaedi, 2011: 8); dan (4) menurut Mansur Muslich (2010: 70), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku seseorang yang menjadi ciri khas dari tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam negara.

Beberapa ahli berpendapat sangat berbeda ketika diminta menjelaskan tentang karakter. Menurut W.B. Saunders, karakter itu adalah sifat nyata, berbeda, dan dapat diamati oleh individu, yang artinya karakter ini dapat ditunjukkan pada masing-masing orang bagaimana karakter seseorang tersebut pada kenyataannya; adapun sifat dan karakter yang dimiliki setiap individu tidak sama dan dapat terlihat, sehingga dapat dikatakan berbeda. Sedangkan menurut Wyne, bagaimana cara seseorang mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau perilaku (behavior), karena jika seseorang memiliki sikap berbudi pekerti yang baik, secara kasat mata berarti orang tersebut memiliki karakter yang mulia. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki budi pekerti yang baik dalam pandangan orang, maka dari karakternya, ia dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki perilaku yang tidak baik.

Menurut Ditjen Mandikdasmen Kementerian Pendidikan Nasional, karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan-keputusan yang ia buat.

Menurut W.B. Saunders, karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Wyne mengungkapkan bahwa karakter menandai bagaimana cara orang berfokus, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan itu dalam bentuk tindakan atau perilaku. Oleh sebab itu, orang yang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter buruk; sedangkan orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang.

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas, karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak. Ketika seseorang disebut berkarakter, berarti orang itu berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak. Karakter mulia berarti bahwa orang tersebut memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menempati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet (gigih), teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat (efisien), menghargai waktu, pengabdian (dedikatif), pengendalian diri, produktif, ramah, dan cinta keindahan (estetis, sportif, tabah, terbuka, tertib). Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, serta mampu bertindak sesuai dengan potensi dan kesadarannya tersebut. Karakter adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Orang yang berkarakter baik atau unggul adalah orang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya; dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya, disertai dengan kesadaran, emosi, dan motivasinya (perasaannya).

B. UNSUR-UNSUR KARAKTER

Fathul Mu’in (2011: 167), mengungkapkan bahwa secara psikologis dan sosiologis terdapat hal-hal yang berkaitan dengan terbentuknya karakter pada manusia. Unsur-unsur ini menunjukan bagaimana karakter dalam diri seseorang bereaksi terhadap lingkungannya. Unsur-unsur tersebut antara lain:

  1. Sikap

Sikap seseorang merupakan bagian dari karakter, sikap bahkan dianggap cerminan karakter seseorang. Dalam hal ini, sikap seseorang terhadap sesuatu yang berada di hadapannya, biasanya menunjukkan karakter orang tersebut. Jadi makin baik sikap seseorang, ia akan dikatakan sebagai orang dengan karakter baik. Sebaliknya, makin tidak baik sikap seseorang, ia akan dikatakan sebagai orang dengan karakter yang tidak baik.

  1. Emosi

Emosi merupakan proses fisiologis yang memiliki gejala dinamis berupa kesadaran dan perilaku sesuai dengan situasi yang dirasakan oleh manusia. Tanpa emosi, kehidupan manusia akan terasa hambar; karena manusia selalu hidup dengan berpikir dan merasa.

  1. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiologis-psikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu benar atau salah (atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi) sangatlah penting dalam membangun watak dan karakter manusia. Kepercayaan berperan besar dalam memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.

  1. Kebiasaan dan Kemauan

Kebiasaan merupakan aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis pada waktu yang lama, tidak direncanakan, dan diulangi berkali-kali. Sedangkan kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang, karena kemauan berkaitan erat dengan tindakan yang mencerminkan perilaku orang tersebut.

  1. Konsep Diri (Self Conception)

Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik secara sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri seseorang dibentuk. Jadi konsepsi diri adalah bagaimana saya harus membangun diri, apa yang saya inginkan, dan bagaimana saya menempatkan diri dalam kehidupan.

Unsur-unsur di atas dapat menyatu dalam diri setiap orang sebagai bentuk kepribadian orang tersebut. Jadi, unsur-unsur ini menunjukkan bagaimana karakter seseorang. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan dan membentuk karakter seseorang.

 

C. PEMBENTUKAN KARAKTER DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN (HUMAN VALUES)

Karakter kita terbentuk dari kebiasaan kita. Kebiasaan kita saat anak-anak biasanya bertahan sampai masa remaja. Orang tua bisa memberi pengaruh yang baik maupun yang buruk dalam pembentukan kebiasaan anak-anak mereka (Lickona, 2012: 50). Pada dasarnya, tujuan pembentukan karakter ialah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong anak untuk tumbuh sesuai dengan kapasitasnya serta berkomitmen untuk melakukan berbagai hal yang terbaik, melakukan segalanya dengan benar, serta memiliki tujuan hidup yang bagus. Dalam membentuk karakter anak, masyarakat juga memiliki peran melalui orang tua dan lingkungan.

Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan (hukum), etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM maka telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama: yaitu nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan: Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Berikut adalah daftar nilai utama yang dimaksud dan deskripsi ringkasnya:

  1. Nilai karakter yang berhubungan dengan Tuhan; yaitu pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
  2. Nilai karakter yang berhubungan dengan diri sendiri (personal), di antaranya:
    1. Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; baik terhadap diri dan pihak lain.
    2. Bertanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan; terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
    3. Bergaya hidup sehat, yaitu segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindari kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
    4. Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
    5. Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar atau pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
    6. Percaya diri, yaitu sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
    7. Berjiwa wirausaha, yaitu memiliki sikap dan perilaku yang mandiri serta pandai/berbakat dalam menciptakan produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkan produk baru, serta mengatur permodalan operasinya.
    8. Berpikir logis, kritis, dan inovatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu dengan menggunakan logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
    9. Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
    10. Ingin tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
    11. Cinta ilmu, adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
  3. Nilai karakter yang berhubungan dengan sesama, di antaranya:
    1. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, yaitu sikap tahu dan memahami serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain, serta tugas kewajiban diri sendiri serta orang lain.
    2. Patuh pada aturan-aturan sosial, yaitu sikap menurut dan taat terhadap aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan.
    3. Menghargai karya dan prestasi orang lain, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, serta mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
    4. Santun, yaitu sifat yang halus dan baik, dari sudut pandang bahasa maupun perilaku ke semua orang.
    5. Demokratis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dengan hak dan kewajiban orang lain.
  4. Nilai karakter yang berhubungan dengan lingkungan, di antaranya:
    1. Peduli sosial dan lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk memberikan bantuan bagi masyarakat yang membutuhkan, mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusahakan alam yang sudah terjadi.
    2. Kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
    3. Nasionalis, yaitu cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
    4. Menghargai keberagaman, yaitu sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal; baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku dan agama.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Nilai-nilai kemanusiaan (human values) merupakan perilaku yang diharapkan dalam pelaksanaan kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang, dan tanpa kekerasan. Ini semua merupakan nilai-nilai karakter bangsa sehingga dapat menciptakan manusia Indonesia yang humanis dalam perilakunya.

D. KONSEP NILAI KEMANUSIAAN (HUMAN VALUES)

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bertanya. Ia akan mempertanyakan dirinya, keberadaannya, dan dunianya (Kasdin Sihotang, 2009: 15). Pertanyaan mengenai siapakah manusia merupakan pertanyaan yang paling mendasar dan paling utama dalam sejarah manusia. Segala pertanyaan yang menyangkut hal-hal lainnya (seperti bumi, bulan, langit, air, serta Tuhan) hanya relevan bila dikaitkan dengan manusia. Selain paling mendasar, pertanyaan siapakah manusia itu merupakan pertanyaan yang paling klasik. Sebelum Sokrates muncul di Yunani pertanyaan tersebut sudah ada. Pada zaman itu, sudah banyak pemikir berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Hanya saja sumber jawabannya tidak langsung dicari pada hakikat manusia itu sendiri, melainkan pada sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

Manusia adalah makhluk yang mempunyai dorongan dan tekad untuk mengangkat harkat dan derajat hidupnya sesuai kodratnya sebagai ciptaan Tuhan. Proses mengatasi atau transendensi diri tersebut merupakan proses pembudayaan yang aktif. Terdapat dua langkah dalam prosesnya, yakni (1) hominisasi, menuju (2) humanisasi. Hominisasi adalah proses panjang dari kandungan, kelahiran, sampai kematian yang berlangsung sebagai proses perkembangan fisik biologis, hingga makin mematangkan diri untuk menjadi manusia hominisasi. Hominisasi ini lekat erat dengan proses humanisasi, artinya pembudayaan diri dan lingkungan; pematangan diri secara fisik, biologis dan budaya dalam memberi arti dan merajut makna terjadi secara simultan (Mudji Sutrisno, 2005: 62-63).

Drijarkara memberikan empat dimensi humanisasi sebagai pemanusiaan kultural, yaitu: (1) Dimensi ekonomis, yaitu karya manusia dalam mengolah yang materi atau barang-barang, hingga berguna bagi manusia. (2) Dimensi teknik, yaitu olahan manusia untuk mengembangkan potensi-potensi (kemungkinan-kemungkinan) dan sifat dunia materi dengan memanfaatkan hukum alam dan mengembangkannya hingga menjadi ilmu teknik. (3) Dimensi kebudayaan, yaitu ekspresi diri, rasa, cinta dan jiwa manusia saat mengolah dan mengangkat alam. Ekspresi paling menonjol di sini adalah penggunaan budi untuk mengolah dunia materi. (4) Dimensi civilization atau peradaban sebagai proses mempersantun ekspresi dalam budi bahasa dan ungkapan yang berkeadaban (Drijarkara, 1980: 84-85).

Dengan bahasa atau terminologi pendidikan, proses di atas diungkapkan Drijarkara sebagai memanusiakan manusia untuk menjadi insan yang tanggap dan bertanggung jawab. Bagaimana humanisasi atau proses pembudayaan dijalani atau dihayati? Untuk makin merajut lingkungan hidup bersama, di mana manusia bersama mencapai kemanusiaan penuh secara utuh, ditunjuklah tiga mantra proses humanisasi: tematisasi (penghayatan hidup yang diberi makna (dinamika) atau diberi nilai), universalisasi (kesadaran manusia yang dihayati bahwa nilai-nilai atau pemberian makna tadi (tematisasi) berharga bagi sesamanya atau orang lain), teorisasi (proses pemberian bingkai pengertian yang lebih mendalam, sistematis, dan dinamis pada tematisasi dan universalisasi) (Drijarkara, 1980: 45).

  1. Manusia Makhluk Berbadan

Manusia itu adalah makhluk yang berbadan. Manusia menjadi sadar karena badannya. Badannya bersatu dengan realitas sekitarnya sehingga membangkitkan manusia untuk berada dalam suatu “cahaya”: dia “melihat” dirinya dan barang-barang;  menempatkan diri, memahami, berjalan, bertindak, dan melakukan hal lainnya. Lihatlah, cacat dalam badan juga mengurangi kesadarannya; dan jika cacat itu merusak seluruh keindraan, manusia juga tidak bisa memahami dunia. Berkat badannyalah manusia bisa menjalankan dirinya. Di situlah manusia tidak memandang badan dan jiwa (subjek pengalaman ialah dirinya sendiri). Masing-masing dari kita berkata: aku, namun yang dimaksudkan bukanlah badan ataupun jiwa. Manusia tidak sadar tentang jiwa, melainkan tentang aku! Kelak, jika manusia menguraikan kesadarannya, dia berkata tentang aku dan badan (bukan jiwa); dia berkata aku sakit atau badanku sakit, di sebelah sini atau sebelah sana (Drijarkara, 1969: 10).

  1. Manusia Bersifat Rohani

Manusia menganggap dirinya sebagai subjek. Subjek artinya berdiri sendiri, mengambil tempat (posisi) dan sikap untuk menghadapi diri sendiri dan realitas.  Dengan menghadapinya, manusia mempunyai daya dan kemampuan yang menyebabkan dia bisa. Barang material dan hewan tidak bisa menghadapi diri sendiri maupun realitas. Maka kemampuan manusia itu disebut kemampuan rohani, artinya tidak seperti barang-barang lainnya yang tidak terbentang, tidak terlipat-lipat, berdimensi tiga. Kemampuan itu menyebabkan dia bisa berdiri sendiri, menghadapi diri, dan barang lainnya dengan sadar. Kemampuan itu juga bisa disebut sifat. Maka manusia dikatakan bersifat rohani sehingga seluruh subjek (manusia) itu bersifat rohani. Jangan kata rohani itu di dalam! Tidak! Lihat mata manusia! Berbeda dari mata hewan! Lihatlah wajah manusia! Berbeda dari muka monyet! Keseluruhan bentuk manusia telah menampakan kerohaniannya.

  1. Manusia Makhluk Jasmani

Aspek jasmani berupa bentuk tertentu ialah badan manusia. Ini bisa kita pandang dalam keadaan biologisnya atau sepanjang badan itu merupakan manifestasi atau bentuk dari aspek jasmani kita. Dalam pandangan yang pertama, kita melihat badan sebagai kesatuan biologis. Di situ terlihat suatu struktur yang terbentuk dari banyak struktur yang tak terhingga. Bangunan ini mempunyai diferensiasi berupa organ-organ dengan berbagai fungsinya. Bangunan ini selalu berubah hingga tingkat tertentu, lantas disusul dengan regresi atau penurunan, yang berakhir dengan disintegrasi. Akan tetapi, pandangan ini tidak boleh dipisahkan dari yang kedua, yaitu badan sebagai aspek jasmani dari manusia. Dalam pandangan ini, badan berupa tubuh atau fisik.

Aspek jasmani penuh dengan aspek rohani, namun keduanya tidak berdampingan karena rupa manusia bukanlah sebelah kiri jasmani dan sebelah kanan rohani, tetapi manusia itu sebuah kesatuan antara jasmani dan rohani. Sebetulnya kata “penuh” juga belum tepat karena penuh di sini tidak bisa disamakan seperti gelas penuh air. Gambaran yang lebih tepat dari penuh ini ialah kesatuan kata dan artinya. Dengan meminjam kata dari kalangan “kesepuhan” Jawa, kita bisa berkata: kesatuan tubuh dan jiwa itu seperti “curiga manjing warangka” dan “warangka manjing curiga”. Kita bisa kata, bahwa jiwa itu ada di dalam badan, tetapi bisa juga dikatakan badan atau tubuh itu ada di dalam jiwa (warangka manjing curiga) (Drijarkara, 1969: 14).

  1. Kesatuan Manusia (AKU)

Manusia yang membicarakan dirinya sendiri sering mengatakan mengenai jiwa dan badannya. Pembicaran itu terjadi karena dia menangkap aspek rohani dan jasmani pada dirinya (atau akunya), sedangkan jiwa dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri (di dalam) dan badan juga, tetapi tetap terlihat. Pikiran tentang badan dan jiwa ini salah. Untuk membenarkannya, katakanlah: aku ini ya rohani ya jasmani. Badan adalah bentuk konkret dari kejasmanianku, atau dari padaku sepanjang aku ini; jasmani yang ada bukan badan, yang ada ialah aku ini dan badan adalah aku dalam bentuk jasmaniku. Badan adalah aku sendiri dalam kedudukanku sebagai makhluk jasmani, badan adalah wujudku sebagai makhluk jasmani. Semua ini untuk menyatakan bahwa badan bukanlah sesuatu kepadaku seperti sepatu atau topi, yakni sesuatu yang menempel. Badan adalah unsur aku. Jika saya berkata aku, maka di situlah sudah termuat badanku (Drijarkara, 1969: 12).

  1. Manusia: Jasmani yang Dirohanikan atau Rohani yang Menjasmani

Pancaindra manusia tidak sama dengan indra hewan! Manusia mendengar, anjing juga mendengar, namun itu tidak sama. Seluruh kejasmanian manusia tidak sama dengan kejasmanian hewan karena kejasmanian manusia itu jasmani yang dirohanikan. Dengan kata lain dalam jasmani manusia itu rohlah yang menjasmani.

Berdasarkan keluhuran ini, maka badan juga hanya akan mulia jika hidup manusia digunakan untuk mengabdi kepada roh. Kita bisa melihat pada wajah seseorang jika moralnya sudah rusak. Kerusakan moral terjadi karena rusaknya aturan dalam kesatuan jiwa raga. Apabila kerendahan dan kehancuran telah terjadi maka akan tercermin pada wajah manusianya.

  1. Pendidikan Manusia

Perkembangan manusia merupakan kesatuan dalam kebhinnekaan yang tidak bisa disangkal. Penyempurnaan manusia tidak dipisahkan dari penyempurnaan badannya. Manusia hanya berkembang sebagai manusia jika badannya memungkinkan. Sebab itu, badan harus selalu dianggap agar terjadi perkembangan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, bimbingan kepada anak juga harus memuat kebugaran jasmani.

Hal ini terjadi dalam keseharian masyarakat, seperti ibu yang mengajarkan anaknya untuk makan, minum, tidur, mengenakan pakian, berjalan, dan kegiatan lainnya. Pendek kata, anak harus diajarkan hidup jasmani, namun tidak berarti melatih badan dengan berbagai cara. Manusia hanya nampak sebagai kebadanian, jadi semua hal insani terlihat di badan juga. Demikianlah tak sopan, hormat, cinta kasih, kebaktian, semua ini dilaksanakan dalam kehidupan manusia melalui badan. Oleh karena itu, membimbing selalu berarti mendidik badan (sebetulnya bukan hanya badan, tetapi badan sebagai bentuk konkret dari kemanusiaan). Pembahasan ini belum membicarakan secara khusus pendidikan jasmani, tetapi pendidikan manusia sudah mempunyai segi jasmani. Dengan pendidikan manusia, jasmani dirohanikan dan rohani dijelmakan. Kehidupan jasmani yang teratur adalah kehidupan jasmani yang dirohanikan dan penjelmaan kerohanian (Drijarkara, 1969: 19-20).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top